Autism: What Made Them Different, Made Them Exceptional


2 April merupakan hari peduli autisme sedunia atau yang lebih populer dengan sebutan World Autism Awareness Day (WAAD). Qatar adalah negara pencetus dilaksanakannya WAAD. Autisme itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu gangguan perkembangan yang ditandai oleh adanya keterlambatan atau hambatan perkembangan pada interaksi sosial, komunikasi, serta perilaku yang terbatas dan berulang. Biasanya gejala-gejala autisme yang ada mulai terlihat sebelum usia tiga tahun. Penyandang autisme biasanya kesulitan untuk berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan maupun keinginannya. Akibatnya perilaku dan hubungannya dengan orang lain menjadi terganggu, sehingga mempengaruhi proses perkembangan lainnya pada anak. Autisme diyakini terjadi karena adanya kerusakan dalam otak, tepatnya pada sistem limbik (pusat emosi). Selain itu, adanya timbal, merkuri atau zat beracun lainnya yang termakan bersama makanan yang dikonsumsi ibu hamil, akan mempengaruhi pertumbuhan otak janin yang dikandungnya dan menjadi salah satu penyebab terjadinya autisme.
Temple Grandin

Di Indonesia, orang-orang berkebutuhan khusus kurang mendapatkan perhatian dan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya. Padahal, jauh di belahan dunia lainnya, kita dapat melihat banyak orang-orang berkebutuhan khusus yang dapat mencatatkan dirinya dalam sejarah. Salah satu tokoh sukses penyandang autisme adalah Temple Grandin, seorang profesor di bidang ilmu hewan. Grandin lahir di Boston, Massachusetts, 29 Agustus 1947. Ia adalah putri dari seorang agen properti, Richard Grandin serta seorang seniman, Eustacia Cutler.

Siapa sangka, si jenius Grandin ternyata didiagnosis autisme ketika masih berusia dua tahun. Ibu Grandin mencari cara agar anaknya bisa hidup normal, salah satu caranya adalah memberikan terapi komunikasi ekstensif, yang kemudian membantu meningkatkan kemampuan berbicara Grandin. Pada usia empat tahun, Grandin pun mulai bisa berbicara dan memperlihatkan adanya perkembangan.

Grandin melihat dunia dengan caranya sendiri. Hanya dengan melihat, Grandin dengan cepat dapat mengingatnya, tidak peduli sudah berapa lama ia melihatnya, ia selalu dapat memberikan gambaran rinci. Autisme jenis ini disebut autis savant. Bakat iniliah yang tampaknya berhasil di ‘endus’ oleh, Professor Carlock (David Strathairn), pengajar sains ditempat Grandin sekolah yang kemudian mendorongnya untuk membuka diri kepada dunia melalui pendidikan yang lebih tinggi.

Grandin mendapatkan gelar psikologi dari Universitas Franklin Pierce di tahun 1970, yang kemudian diikuti dengan gelar master yang diperolehnya dari Universitas Arizona di bidang ilmu hewan. Tidak hanya itu ia juga menyandang gelar doktor dari Universitas Illinois dengan bidang yang sama. Grandin kemudian bekerja sebagai konsultan di sebuah rumah pemotongan hewan dan menjadi penasehat tentang cara meningkatkan kehidupan ternak terutama sapi.

Temple Grandin's Squeeze Machine For Autism
Ketertarikan Grandin terhadap dunia hewan dimulai sejak remaja. Dahulu, Grandin tinggal selama liburan musim panas di rumah bibinya yang memiliki peternakan sapi. Autisme membuat Grandin sangat sensitif terhadap suara terutama kebisingan. Di peternakan tersebut, Grandin menemukan alat untuk menenangkan sapi yang akan diimunisasi. Alat ini kemudian menarik perhatian Grandin karena ia menganggap alat ini juga dapat membuatnya menjadi lebih tenang. Ia kemudian membuat alat versinya sendiri, dan alat buatannya tersebut sampai saat ini digunakan untuk terapi autisme.



Menurut Grandin, hewan dan orang dengan autisme memiliki sebuah kesamaan, yaitu mengandalkan penglihatan untuk berhubungan dengan dunianya. Kali pertama Grandin menyaksikan pemotongan sapi secara langsung, ia menyadari bahwa ada kecemasan dan stres yang dialami sapi ketika dihadapkan dengan hal-hal visual tertentu. Grandin kemudian berusaha untuk mengurangi kecemasan dan stres yang dilihatnya dengan mendesain sebuah alat. Sebuah perusahaan industri kemudian menawarkan untuk membantunya mendesain alat tersebut.
Grandin menyadari bahwa ia dapat menjalani kehidupan dengan autisme yang ia miliki, tapi ia memiliki keterbatasan hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, ia merasa lebih nyaman untuk bekerja sendiri dalam sebuah project temporer. Grandin kemudian mendirikan perusahaannya sendiri yang bernama Grandin Livestock Handling System.

Di tahun-tahun berikutnya, Grandin dikenal sebagai seorang ahli di bidang ilmu hewan. Hasil-hasil dari penelitiannya sudah banyak dipublikasi di berbagai jurnal akademis dan publikasi industri. Grandin menuliskan hasil kerjanya dalam sebuah buku yang berjudul Animals in Translation: Using The Mysteries of Autism to Decode Animal Behavior. Buku ini bercerita tentang banyaknya pendukung kesejahteraan hewan kurang memperhatikan tingkat stres.
Movie Poster Temple Grandin

Saat ini Grandin tinggal di Colorado dan bekerja sebagai seorang profesor di bidang ilmu hewan untuk Colorado State University. Di tahun 1986, Grandin menuliskan sebuah autobiogafi tentang dirinya yang berjudul Emergence: Labeled Autistic. Sepuluh tahun kemudian buku ini diterbitkan ulang bersama dengan buku lainnya, Thinking in Pictures and Other Reports from My Life with Autism. Kehidupan Grandin juga telah diangkat ke dalam sebuah film pada tahun 2010 dengan judul yang sesuai dengan namanya, Temple Grandin. Film ini berhasil mendapatkan penghargaan Emmy Awards sebagai Film Televisi Terbaik.

Dari kehidupan Grandin, kita dapat menyimpulkan bahwa kekurangan yang dimiliki seseorang tidak semata-mata menjadi hambatan untuk menjalani hidupnya. Di satu sisi Grandin merupakan orang yang sukses di bidangnya, di sisi lain ia pun menyadari bahwa ia memiliki banyak keterbatasan karena autisme yang dimilikinya. Pun demikian, ia memilih untuk terus berkarya. Seperti yang tertulis dalam tagline film Grandin, “What made her different, made her exceptional” – Yang menjadikannya berbeda, membuatnya luar biasa.

Lantas bagaimanakah persepsi masyarakat terhadap penyandang autisme? Sayangnya masyarakat masih memandang negatif penyandang autisme. Bahkan tak sedikit masyarakat yang menggunakan kata ‘autis’ sebagai candaan. Persepsi keliru yang berkembang di masyarakat mengenai individu penyandang autisme atau orang awam biasa menyebutnya sebagai anak autis, membawa dampak buruk bagi penyandang autisme juga keluarga, terutama orangtuanya. Pemulihan terhadap penyandang autisme menjadi terkendala karena banyak orang yang tidak mengerti dan tidak menerima keberadaannya.


Pada tahun 2007 tercatat ada 30 juta penyandang autisme di seluruh penjuru dunia. Naik lagi pada 2008 menjadi 60 juta jiwa. Dewasa ini, terjadi peningkatan jumlah penyandang autisme sampai lebih kurang 15-20 per 10.000 anak. Jika angka kelahiran pertahun di Indonesia 4,6 juta anak, maka jumlah penyandang autisme pertahun akan bertambah dengan 0,15% yaitu 6900 anak. Maka dari itu, sudah seharusnya kita menerima penyandang autisme dilingkungan sosial kita. Masyarakat harus diajarkan bahwa penyandang autisme adalah manusia yang layak hidup sebagaimana orang ‘normal’ lainnya. Penerimaan masyarakat terhadap penyandang autisme memegang peran penting terhadap keberhasilan pemulihan. Tanpa penerimaan dari lingkungannya, penyandang autisme tidak memiliki kepercayaan diri dan akan terus menjadi korban bullying serta masih mungkin mengalami diskriminasi terutama di sekolah.

"Stop using the word 'autism' for joke. It’s not funny. Because what made them different, makes them exceptional"


Sumber Bacaan
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar